Puasa Arofah
Puasa Arofah
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ سَنَةٍ مَاضِيَةٍ وَسَنَةٍ
مُسْتَقْبَلَةٍ وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ.
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Qatadah
(diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Puasa hari Arafah menutup dosa
dua tahun, satu tahun yang lampau dan satu tahun yang akan datang, dan puasa
Asyura menutup dosa satu tahun. [Hadis ini diriwayatkan
oleh sejumlah ahli hadis dan teks di atas adalah riwayat Imam Ahmad].
Perlu diketahui bahwa dalam hadis-hadis lain disebutkan beberapa jenis
ibadah dan perbuatan yang dapat menghapus dosa yang akan datang. Misalnya hadis
al-Bukhari yang menegaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, Barang siapa mandi
pada hari Jumat, bertaharah sedemikian rupa, kemudian memakai wangi-wangian,
kemudian berangkat (ke Jumat), lalu tidak menyela dua orang (yang sedang duduk
di mesjid), kemudian salat semampunya melakukan, kemudian bila mana imam
berkhutbah ia diam mendengarkannya, maka diampuni dosanya dari Jumat
bersangkutan hingga Jumat berikutnya [HR. al-Bukhari]. Dalam riwayat
Muslim, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban bahkan ditambahkan akan diampuni dosanya
antara Jumat bersangkutan dan Jumat berikutnya plus tiga hari sesudahnya.
Ada pula hadis riwayat Ahmad yang menegaskan bahwa orang yang melakukan
puasa Ramadan dengan iman dan penuh harap terhadap rida Allah akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Di lain pihak hadis Abu
Dawud menyatakan bahwa barang siapa membaca alhamdulillah setelah makan
atau memakai pakaian, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan
datang.
Mengenai apa macam dosa yang diampuni, terdapat beberapa
hadis yang menyatakan bahwa yang bisa diampuni oleh beberapa jenis ibadah
tersebut adalah dosa-dosa kecil. Hadis dimaksud adalah sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إلى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا
بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ. [رواه مسلم والترمذى وابن ماجه وابن
حبان وابن خزيمة والبيهقي]
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Shalat lima
waktu dan Jumat ke Jumat menutup dosa-dosa dari shalat ke shalat berikutnya
selama tidak dilakukan dosa besar. [HR. Muslim, at-Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, dan
al-Baihaqi].
Ibnu ‘Abdil-Barr (w. 463/1071), seorang ulama besar dari Cordova, Spanyol,
menegaskan dalam kitabnya at-Tamhid bahwa memang ada beberapa orang ahli
ilmu pada zaman ini yang berpendapat bahwa hikmah taharah dan shalat dapat
menghapus dosa-dosa besar. Akan tetapi ia mengomentari pendapat tersebut dengan
agak keras dengan menyatakannya sebagai pendapat jahil dan menyetujui ajaran
Murjiah. Dari uraiannya yang panjang dapat pula dipahami bahwa dosa yang
disengaja tidak dapat ditutupi oleh hikmah ibadah-ibadah tersebut. Dosa-dosa
besar dan disengaja dapat diampuni apabila pelakunya bertobat nasuha dengan
menyesalinya dan memperbaiki diri serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi (at-Tamhid,
IV: 44-49).
Dalam Putusan Tarjih pada Munas XXVI tahun 2003 (yang belum ditanfidz oleh
PP) tentang hikmah puasa tathawwu‘ diberi peringatan bahwa: Hendaknya
jangan terjadi salah pengertian dan jangan timbul anggapan yang mengarah kepada
bermudah-mudah melakukan perbuatan maksiat dan dosa semata karena anggapan
bahwa dengan berpuasa sunnat sehari saja dosa-dosa itu, bahkan dosa setahun
yang lalu dan yang akan datang, segera akan terhapus, dan orang tersebut akan
dijauhkan dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun. Perlu dicamkan bahwa puasa
yang sungguh-sungguh bukan sekedar perbuatan fisik berupa tidak makan, tidak
minum dan tidak berhubungan badan (bagi pasangan suami-isteri) belaka,
melainkan puasa yang sesungguhnya adalah puasa yang didasarkan kepada suatu
komitmen otentik untuk meninggalkan segala perbuatan dosa dan maksiat dan
sekaligus terefleksikan dalam perbuatan dan tingkah laku nyata.
Mengenai dosa yang akan datang yang belum dikerjakan, dapat dikutipkan
pernyataan Imam asy-Syaukani (w. 1255/1839), dalam Nailul-Authar ketika
menerangkan puasa Arafah akan menghapus dosa yang akan datang, bahwa dosa itu
akan diampuni apabila seandainya terjadi, atau bisa juga berarti bahwa orang
itu, karena puasa Arafahnya, akan terbimbing sehingga terhindar dan tidak akan
melakukan dosa (Nailul-Authar, 2000 : 875). Alternatif kedua dari
penjelasan asy-Syaukani ini lebih logis dan dapat diterima.
Mengenai Nabi pernah puasa dan pernah tidak puasa pada
waktu wukuf, yang dimaksud oleh penulis artikel bersangkutan adalah hadis-hadis
sebagai berikut:
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي
الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ
اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ [رواه أبو داود وأحمد والبيهقي].
Artinya: Diriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi saw, ia berkata: Rasululah
pernah puasa sembilan hari (pertama) bulan Zulhijjah, hari Asyura, tiga hari
setiap bulan, yaitu Senin pertama dan hari Kamis [HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi].
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ
الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ في صَوْمِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ
وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ
وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ [رواه الجماعة واللفظ للبخاري].
Artinya: Diriwayatkan dari Ummul-Fadll binti al-Harits bahwa beberapa orang
bertikai di dekatnya pada hari Arafah mengenai puasa Nabi saw. Beberapa
menyatakan bahwa beliau puasa dan yang lain mengatakan beliau tidak puasa. Maka
Ummul-Fadll mengirim secawan susu kepada beliau ketika ia berdiri di dekat
untanya, lalu beliau minum. [HR. Jamaah ahli hadis, dan lafal di atas
adalah lafal al-Bukhari].
Hadis pertama menerangkan bahwa Rasulullah saw pernah puasa sembilan hari
bulan Zulhijjah. Sembilan hari bulan Zulhijjah itu adalah tanggal 1 hingga
tanggal 9, yakni sampai hari Arafah. Salah seorang isteri Nabi saw yang
dimaksud dalam hadis itu menurut riwayat an-Nasa’i, Ahmad dan ath-Thabrani
adalah Hafsah (w. 41/661). Hadis Hafsah ini terjemahannya adalah, Diriwayatkan
dari Hafsah, ia berkata: Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh
Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah, puasa
tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh [HR.
an-Nasa‘i]. Sepuluh hari bulan Zulhijjah dalam hadis Hafsah ini dimaksudkan
sembilan hari, karena pada hari kesepuluh, yaitu hari Idul Adha dilarang puasa.
Penyebutan sepuluh hari ini karena dalam hadis-hadis lain diterangkan keutamaan
beribadah pada sepuluh hari tersebut, termasuk keutamaan berpuasa, hanya saja
karena hari Idul Adha dilarang puasa, maka secara otomatis menurut akal
maksudnya adalah sembilan hari. Dengan kata lain dalam hadis ini ada istisna
aqli (pengecualian berdasarkan logika pikiran). Demikian Ali al-Qari (w.
1014/1605) dalam Mirqatul-Mashabih (IV: 495).
Hadis yang menerangkan keutamaan beribadah termasuk puasa
pada sepuluh hari bulan Zulhijjah itu adalah,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّام العَمَل الصَّالِح فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ
هَذِهِ اْلأَيَامِ اْلعَشْرِ .
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari yang dilakukannya amal salih
lebih disukai Allah pada hari itu daripada sepuluh hari (dalam bulan
Zulhijjah)… [HR. Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah,
al-Baihaqi, ath-Thabrani dan ad-Darimi].
Abu ‘Awanah (w. 316/928) dalam Musnadnya dan Imam at-Turmudzi dan
Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa Nabi
bersabda, Tiadalah hari-hari dunia ini yang disukai oleh Allah agar padanya
dilakukan ibadah selain sepuluh hari bulan Zulhijjah; barang siapa berpuasa
satu hari saja padanya sebanding dengan puasa satu tahun dan beribadah satu
malam saja padanya sama dengan beribadah malam lailatul qadar [Musnad Abu
‘Áwanah, II: 246].
Jadi hadis pertama, yaitu hadis Abu Dawud, menunjukkan bahwa Rasulullah saw
pernah puasa pada hari Arafah. Sedangkan hadis kedua, yaitu hadis Ummul-Fadll,
memastikan bahwa Rasulullah saw tidak berpuasa pada waktu di Arafah ketika
melakukan haji wada‘ karena beliau minum susu. Dalam hadis itu diterangkan
bahwa beberapa Sahabat ketika di Arafah bertikai apakah Nabi saw pada hari itu
puasa atau tidak. Sebagian menyatakan beliau puasa dan sebagian lain menyatakan
tidak puasa. Hafsah kemudian mengetesnya dengan memberikan secawan susu dan
ternyata beliau minum, yang berarti beliau tidak puasa. Ibnu Hajar (w. 852/1449),
pensyarah Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa pertikaian beberapa
Sahabat itu menunjukkan bahwa mereka ketika di Madinah bersama Rasulullah saw
biasa melakukan puasa Arafah. Orang yang memastikan bahwa Nabi saw puasa pada
waktu wukuf bersandar kepada kebiasaan beliau tersebut yang melakukan puasa
Arafah. Sedangkan yang menyatakan beliau pada hari itu tidak berpuasa alasannya
adalah karena beliau musafir dan biasanya beliau menyuruh orang musafir untuk
tidak melakukan puasa wajib sekalipun, apalagi puasa sunnat.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Nabi saw pernah puasa hari wukuf Arafah
adalah ketika di Madinah beliau berpuasa pada saat di Arafah dilakukan wukuf.
Sedangkan pada saat haji wada‘ beliau tidak puasa Arafah. Oleh karena itu
kemudian dalam fikih ditentukan hukum bahwa orang yang tidak sedang berada di
Padang Arafah disunnatkan puasa, sedangkan orang yang sedang melakukan wukuf
dilarang puasa. Namun larangan tersebut, seperti ditegaskan pada artikel dalam
SM edisi 4/2007 itu, bukanlah larangan yang mengharamkan, melainkan larangan
makruh dengan illat agar orang yang bersangkutan tidak kehabisan tenaga untuk
melakukan rangkaian kegiatan ibadah haji yang berpuncak di Arafah.
KEHUJJAHAN HADIS-HADIS
PUASA SEMBILAN/SEPULUH HARI ZULHIJJAH
Terdahulu telah disebutkan hadis salah seorang isteri Nabi saw riwayat Abu
Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi tentang Nabi saw melakukan puasa sembilan hari
Zulhijjah dan juga hadis Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah
ditinggalkan Nabi saw antara lain puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah. Teks
hadis terakhir ini adalah,
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ .
Artinya: Diriwayatkan dari Hafsah, ia
berkata: Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, yaitu:
puasa Asyura, puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan,
dan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh.
Dalam Putusan Munas Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 (yang belum ditanfiz
oleh PP) tentang puasa tathawwu‘ ditegaskan bahwa puasa tathawwu‘ ke-8 adalah
puasa tanggal 1 s/d 8 Zulhijjah. Disebut puasa tanggal 1 s/d 8 Zulhijjah adalah
karena puasa tanggal 9 (hari Arafah) sudah disebutkan tersendiri. Dalil yang
digunakan dalam Putusan tersebut adalah hadis Hafsah tentang empat hal yang
tidak pernah ditinggalkan Nabi saw di mana salah satunya adalah puasa sepuluh
hari bulan Zulhijjah itu. Pertanyaannya, apakah hadis-hadis ini dapat dijadikan
hujjah? Pertanyaan ini muncul karena adanya hadis dari ‘Aisyah yang menyanggah
puasa tersebut sebagai berkut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ. [رواه مسلم].
Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Saya tidak pernah melihat
Rasulullah saw puasa pada sepuluh hari (pertama bulan Zulhijjah). [HR.
Muslim].
Untuk itu kita perlu menyelidiki sanad hadis Hafsah tentang empat hal yang
tidak pernah ditinggalkan Nabi saw seperti tersebut di atas dan sanad hadis
beliau puasa sembilan hari Zulhijjah. Selain dari an-Nasa’i, hadis Hafsah ini
diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ibn Hibban, Abu Ya‘la, dan ath-Thabrani. Yang
paling pendek dari sanad kelima rawi (mukharrij) ini adalah sanad Ahmad
sebagai berikut: Hafsah – Hunaidah – al-Hurr – ‘Amr Ibn Qais – Abu Ishaq –
Hasyim Ibn al-Qasim – Imam Ahmad. Jalur sanad dari semua ahli hadis untuk hadis
ini sama sampai kepada Hasyim Ibn al-Qasim (Abu an-Nadlr). Dari beliau baru
terjadi percabangan menuju kepada para ahli hadis tersebut. Semua rawi ini,
kecuali Abu Ishak, adalah terpercaya.
Informasi biografis
tentang Abu Ishaq ini tidak banyak terungkap dalam kitab-kitab rijal hadis. Hanya disebutkan bahwa namanya adalah Abu Ishaq al-Asyja‘i berasal dari
Kufah. Ia meriwayatkan hadis dari ‘Amr Ibn Qais, dan murid yang meriwayatkan
hadisnya adalah Hasyim Ibn al-Qasim yang sering dipanggil Abu an-Nadlr, seorang
ahli hadis terpercaya. Hadis-hadis Abu Ishaq hanya diriwayatkan oleh Hasyim
ini. Ibn Hajar (w. 852/1449) menilainya maqbul, sebuah kategori ta’dil
paling rendah. Tetapi tidak begitu jelas apa alasannya ia dinilai karena
keterangan biografis Ibn Hajar sendiri tentangnya tidak memadai. Adz-Dzahabi
(w. 748/1347) memasukkannya ke dalam bukunya al-Mughni fi adl-Dlu‘afa’,
akan tetapi kurang jelas kategorinya. Dalam buku ini adz-Dzahabi memasukkan
berbagai kategori rawi termasuk rawi terpercaya yang sedikit longgar dalam
seleksi hadis. Mungkin atas dasar ini kemudian al-Albani menyatakan hadis ini
daif. Ibn Hibban meriwayatkan hadis Abu Ishaq ini dalam Shahihnya, yang
berarti menurutnya Abu Ishak adalah rawi yang hadisnya sahih. Begitu pula
al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadis ini sahih memenuhi kriteria al-Bukhari
dan Muslim.
Hadis ini mempunyai
kesamaan makna dengan hadis salah seorang isteri Nabi saw yang menerangkan
beliau melakukan puasa sembilan hari bulan Zulhijjah. Sanad terpendek hadis
salah seorang isteri Nabi saw ini seorang isteri Nabi saw – isteri Hunaidah –
Hunaidah – al-Hurr – Abu ‘Awanah. Hingga Abu ‘Awanah ini
jalur periwayatan hadis ini semuanya sama. Dari Abu ‘Awanah kemudian baru
terjadi percabangan menuju masing-masing ahli hadis. Pada dasarnya semua rawi
dalam sanad hadis ini adalah terpercaya. Hanya saja ada rawi yang mubham dan
majhul. Rawi mubham itu adalah salah seorang isteri Nabi saw. Siapa yang
dimaksud dengan isteri Nabi ini. Bila dihubungkan dengan hadis terdahulu,
kiranya dapat diduga bahwa salah seorang isteri Nabi saw ini adalah Hafsah (w.
41/661), putri Umar Ibn al-Khattab.
Adapun isteri Hunaidah
memang majhul, yaitu tidak dikenal sama sekali identitas dirinya. Tidak ada satupun sumber biografis yang dilacak sejauh ini menyebutkan
identitasnya. Namun penjelasan lain dapat diberikan. Hunaidah sendiri dinilai
oleh para biografer ahli hadis sebagai rawi terpercaya. Nama lengkapnya adalah
Hunaidah Ibn Khalid al-Khuza‘i, terbilang ke dalam kelompok tabiin. Tetapi ada
beberapa biografer yang menyatakannya sebagai Sahabat. Ia banyak bergaul dengan
Sahabat dan meriwayatkan hadis dari beberapa di antara mereka. Ia pernah
bertemu Ali Ibn Abi Talib dan ikut bersamanya melaksanakan suatu hukuman hadd
(dengan cambuk) terhadap seseorang pelaku kejahatan. Ia mula-mula di Madinah
kemudian pindah ke Kufah. Ibunya adalah bekas budak Umar Ibn al-Khattab. Oleh
karena itu Hunaidah tentulah dekat dengan keluarga Umar, termasuk anaknya
Hafsah. Dengan begitu, meskipun isterinya majhul, namun antara Hunaidah dan
Hafsah tidak ada keterputusan karena keduanya muasir (sezaman) dan mengingat
hubungan keluarga mereka yang dekat tentu Hunaidah banyak mengetahui riwayat
yang bersumber kepada Hafsah. Oleh karena itu ada alasan untuk menerima hadis
ini.
Mengenai sanggahan
‘Aisyah, seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang dikutip di atas, para
komentator (pensyarah) hadis menjelaskan sebagai beikut. An-Nawawi (w. 676/1278) dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan, “Hadis
‘Aisyah ‘Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melakukan puasa sepuluh”
takwilnya adalah puasa sembilan hari sejak hari pertama bulan Zulhijjah. Hadis
ini tidak menunjukkan bahwa puasa sembilan itu makruh, melainkan sangat
disunatkan terutama pada hari yang ke-9, yaitu hari Arafah. Terdahulu telah
diterangkan hadis-hadis yang menunjukkan keutamaannya, dan dalam Shahih
al-Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari
yang amal salih padanya lebih utama dari hari-hari ini, maksudnya sepuluh hari
pertama bulan Zulhijjah. Pernyataan ‘Aisyah bahwa ia tidak pernah melihat
Rasulullah puasa sepuluh hari takwilnya adalah bahwa ia tidak melihatnya
melakukannya pada waktu sakit atau waktu dalam perjalanan atau lainnya. Atau
bisa juga ditakwil bahwa tidak melihatnya itu tidak berarti bahwa beliau dalam
kenyataannya tidak melakukannya. Takwil ini ditunjukkan oleh hadis Hunaidah
dari salah seorang isteri Nabi saw [VIII: 71-72].
Dalam al-Majmu‘ an-Nawawi menegaskan bahwa ‘Aisyah ia tidak melihat
Nabi saw melakukan puasa sepuluh itu tidak berarti bahwa beliau tidak
melakukannya dalam kenyataan. Beliau kadang-kadang berada bersama ‘Aisyah pada
salah satu dari sembilan hari Zulhijjah dan pada isterinya yang lain pada
hari-hari sisanya. Atau dapat juga ditakwil bahwa beliau melakukan puasa
sepuluh itu pada tahun tertentu dan tidak melakukannya pada tahun yang lain
karena sakit atau dalam perjalanan atau karena alasan lain. Demikianlah jamak (kompromi) dilakukan terhadap hadis-hadis ini [VI: 414].
Ibnu Hajar (w.
852/1449), pensyarah terbesar Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa hadis
ini [maksudnya hadis al-Bukhari tentang tiada hari yang amal salih lebih afdal
untuk dikerjakan pada hari itu dari pada hari yang sepuluh ini] menjadi dalil
atas keutamaan puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah karena puasa itu termasuk
dalam amal salih. Tidak ada pertentangan dengan hadis ‘Aisyah karena ada
kemungkinan beliau pada waktu tertentu tidak melakukannya karena khawatir
dianggap wajib oleh umatnya [II: 460].
Imam az-Zarkasyi (w.
794/1392) menyatakan bahwa hadis ‘Aisyah itu bisa diartikan bahwa ‘Aisyah tidak
tahu bahwa beliau melakukan puasa sepuluh karena beliau membagi hari-harinya di
antara isteri-isteri beliau. Ada kemungkinan beliau
puasa tidak pada hari-hari bersama ‘Aisyah [Al-Ijabah, 173]. Ibnu
Qudamah (w. 620/1223), dalam al-Kafi, menegaskan, “Disunatkan puasa
sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Abbas yang
menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya
lebih disukai oleh Allah dari hari-hari sepuluh ini” [I: 362].
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadis tentang puasa sepuluh/sembilan
Zulhijjah dapat diterima dan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah tersebut
masyru' (disyariatkan).
Komentar
Posting Komentar